Skip to main content

Alat Bantu Disabilitas: Hak bukan Amal

This article was originally published on geotimes.id.

Ketika kita bangun pagi hari, perlahan membuka mata dan melihat langit-langit kamar, kemudian kita meregangkan tubuh dengan mengangkat tangan dan sedikit menguap. Setelah pandangan kita mulai jelas, kita akan bangun dari tempat tidur dan berjalan ke kamar mandi untuk mencuci muka. Tak lupa, kita juga biasanya mempersiapkan sarapan dan bercengkrama dengan keluarga.

Paragraf di atas merupakan hal yang biasa kita lakukan sehingga kadang kita lupa betapa luar biasanya tubuh kita bekerja dengan baik. Bayangkan, jika satu saja dari aktivitas di atas tiba-tiba tidak bisa kita lakukan seperti hari-hari sebelumnya-suara hilang, tidak bisa mendengar apapun atau tidak bisa menggerakkan kaki-mungkin kita akan histeris dan merasa bahwa kita tidak dapat melakukan apapun lagi.

Normal bagi kita mungkin akan sangat jauh berbeda dengan normal bagi penyandang disabilitas. Sebagian orang membuka mata tanpa bisa melihat, berjalan tanpa menggunakan kaki, berbicara tanpa suara, hingga melihat untuk mendengar. Sehingga, mereka membutuhkan alat bantu untuk dapat melakukan apa yang orang lain bisa lakukan.

Membutuhkan alat bantu, tidak berarti bahwa penyandang disabilitas tidak capable untuk melakukan apa yang biasa kita lakukan sehari-hari. Semakin hari semakin banyak alat bantu yang adaptif, menyesuaikan dengan setiap orang yang membutuhkannya. Seperti kacamata, setiap orang membutuhkan ukuran dan lensa yang berbeda-beda. Begitu juga dengan penyandang disabilitas yang membutuhkan alat bantu yang berbeda-beda dengan fungsi atau penyesuaian yang berbeda pula, yang biasa disebut dengan alat bantu adaptif.

Proses penyediaan alat bantu kursi roda adaptif oleh Puspadi Bali

Alat bantu disabilitas yang ditanggung pemerintah

Faktanya, jangankan alat bantu adaptif, alat bantu standar saja tidak semuanya ditanggung oleh BPJS. BPJS Kesehatan Nasional Indonesia hanya menanggung 7 alat bantu dari sekian banyak kebutuhan signifikan alat bantu individu bagi penyandang disabilitas, sedangkan kursi roda tidak termasuk di dalamnya.

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 3 Tahun 2023 tentang Standar Tarif Pelayanan Kesehatan dalam Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan, adapun 7 alat bantu yang ditanggung oleh BPJS meliputi kacamata, alat bantu dengar, protesa alat gerak, protesa gigi, korset tulang belakang, penyangga leher, dan kruk.

Pemerintah sebenarnya sudah peduli, sudah memiliki regulasi dan porsi anggaran untuk alat bantu disabilitas, akan tetapi kurangnya pemahaman tentang alat bantu yang sesuai perlu ditingkatkan untuk mencapai perubahan paradigma bagaimana negara memandang disabilitas dari pendekatan charity (amal) menjadi berbasis hak di Indonesia. Pemenuhan hak penyandang disabilitas ini merupakan pekerjaan lintas sektor, dari tahap perencanaan hingga evaluasinya pun juga harus melibatkan organisasi dan aktor penyandang disabilitas.

Perlunya kolaborasi lintas sektor

Untuk mencapai hal ini, UCP Roda Untuk KemanusiaanPUSPADI BaliAnnika Linden Centre dan Gugus Tugas Alat Bantu Disabilitas Bali, dengan dukungan Inspirasia Foundation, mengadakan workshop di Kabupatan Badung dan Kota Denpasar, Bali, dengan tajuk “Pentingnya Percepatan Pemenuhan Hak Alat Bantu Adaptif yang Berkelanjutan bagi Penyandang Disabilitas.”

Workshop yang diselenggarakan pada tanggal 14 dan 15 Mei 2024 ini mengundang berbagai pemangku kepentingan, dari Kepala Dinas Sosial Kabupaten Badung dan Kota Denpasar, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Badung dan Kota Denpasar, Bappeda Kabupaten Badung dan Kota Denpasar,  organisasi penyandang disabilitas seperti Gerkatin Provinsi Bali, Pertuni Provinsi Bali, Yayasan Bunga Bali, dan banyak lagi.

Workshop “Pentingnya Percepatan Pemenuhan Hak Alat Bantu Adaptif yang Berkelanjutan bagi Penyandang Disabilitas” di Kabupaten Badung

Workshop ini berlangsung dengan suasana yang sangat hangat, termasuk sesi berbagi pengalaman dari UCP Roda untuk Kemanusiaan (UCPRUK). UCPRUK berbagi mengenai praktik baik di Provinsi DI Yogyakarta yang memiliki Peraturan Khusus tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas untuk mengakses layanan kesehatan dan alat bantu (mencakup sekitar 50 jenis alat bantu), dan rehabilitasi melalui Program Jaminan Kesehatan Khusus (Jamkesus Disabilitas) yang dimulai pada tahun 2013.

Program Jamkesus Disabilitas ini didanai oleh APBD Provinsi DI Yogyakarta dan pelaksanaannya melibatkan berbagai pemangku kepentingan, termasuk Dinas Sosial dan Kesehatan, Puskesmas, rumah sakit/spesialis, serta komunitas dan organisasi penyandang disabilitas lokal. Inovasi utama dari program ini adalah Layanan Jamkesus Terpadu. Model inovatif ini telah menunjukkan peningkatan signifikan dalam alokasi anggaran untuk alat bantu adaptif, yang berarti bahwa hak akses terhadap alat bantu tersebut bagi penyandang disabilitas semakin terpenuhi dan memberikan dampak positif dalam kehidupan mereka.

Upaya dan strategi untuk memenuhi kebutuhan alat bantu adaptif perlu terus didorong, baik di tingkat daerah maupun nasional. Salah satu langkah yang dapat diambil adalah membangun komitmen bersama dengan mengadopsi praktik-praktik terbaik dari daerah, sambil mempertimbangkan capaian, tantangan, dan peluang yang ada.

Workshop ini menenkakan betapa kolaborasi lintas sektor sangat diperlukan untuk mencapai pemenuhan hak penyandang disabilitas, terbukti dengan terciptanya diskusi dua arah dari pembicara dan peserta yang berasal dari berbagai kalangan termasuk penyandang disabilitas.

Harapannya, workshop ini dapat menjadi batu loncat dalam inisiasi dan kolaborasi yang menyatukan berbagai sektor untuk saling membantu dalam pemenuhan hak alat bantu adaptif yang berkelanjutan bagi penyandang disabilitas di Provinsi Bali.

Yang tak kalah penting, peran kita sebagai sesama manusia yang tidak membeda-bedakan manusia lainnya sangat signifikan untuk memberikan ruang aman kepada teman-taman penyandang disabilitas. Siapkah kita untuk ambil peran untuk memperjuangkan hak penyandang disabilitas?